Bangkit Petaniku : “Terbayang selalu lahan yang terlantar….”
Gempa bumi berkekuatan 7,4 skala righter yang menyebabkan tsunami, longsor, dan likuifaksi di Sulawesi Tengah bukan saja menyebabkan kerugian jiwan namun juga menghancurkan sendi-sendi kehidupan lainnya. Segala sarana dan prasarana penunjang kehidupan dan rotasi perekonomian tidak berfungsi. Banyak masyarakat yang kehilangan mata pencarian termasuk petani. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tengah mengungkapkan terdapat 7.000 petani terdampak oleh rusaknya areal persawahan seluas 7.356 hektar di Palu, Sigi dan Donggala yang diakibatkan oleh rusaknya irigasi Gumbasa.
Kerusakan irigasi oleh gempa menyebabkan petani padi beralih ke tanaman palawija yang tidak membutuhkan banyak air seperti jagung atau kacang tanah. Hal ini diperburuk dengan musim kemarau yang menyebabkan kekeringan dan membuat petani gagal panen. Salah satu petani yang terdampak adalah Pak Sakri, 50 tahun, yang merupakan petani di Desa Maranatha, Kabupaten Sigi. Setelah gempa, Pak Sakri memutuskan untuk menjadi buruh bangunan di Palu. Setelah 3 bulan menjadi buruh, Pak Sakri kembali ke kampungnya untuk bertani namun mengalamigagal panen karena kekeringan. “Tiga bulan saya jadi buruh bangunan dan jiwa saya tidak tenang. Terbayang selalu lahan yang terlantar. Akhirnya saya kembali bertani kacang tanah, tetapi gagal akibat panas dan ketiadaan air karena hanya berharap pada hujan….” Ujar Pak Sakri kepada tim Mercy Corps Indonesia.
Mercy Corps Indonesia merespon permasalah dan kebutuhan Pak Sakri dan petani lainnya melalui bantuan irigasi pertanian. Melalui pengeboran sumur dangkal dan pemberian sumur pompa air dan selang distribusi di 7 Kecamatan di Sulawesi Tengah membuat para petani dapat mengolah tanah untuk ditanami dengan tanaman palawija seperti jagung, kacang panjang, terong, kacang tanah, kacang hijau atau kedelai. “…Akhirnya Tuhan mempertemukan saya dengan orang-orang dari Mercy Corps Indonesia yang membuat pertemuan dengan kelompok tani di desa saya. Saat sumur bor dangkal selesai, saya langsung mempergunakan untuk bertani. Untuk memulai usaha bertanam, saya meminjam uang dari teman sebanyak 15 juta rupiah Luas lahan yang saya punyai 0,7 hektar dan semua saya tanami semangka.” lanjut pak sakri kepada Mercy Corps Indonesia.
Selain memberikan bantuan berupa pompa air, Mercy Corps Indonesia juga memberikan pelatihan agrikultural kepada petani. Saat memulai menanam lahannya, Pak Sakri menerapkan ilmu yang didapatkan dari pelatihan tersebut termasuk dalam mensiasati musim kemarau. Walaupun mengalami keterbatasan pendengaran, Pak Sakri tetap antusias untuk belajar dan mengikuti pelatihan. Dengan semangat, Pak Sakri menceritakan proses bertaninya “…setiap pagi jam 06.00 saya siram, bibit yang tumbuh tidak sempurna saya buang sambil saya bajak dan bentuk bedengan tanah. Setelah bibit berumur 2 minggu, telah memiliki daun 3-4 helai maka bibit siap dipindahkan ke lahan yang telah disiapkan sebelumnya. Lubang-lubang penanaman telah digali 2 minggu sebelum penanaman dan dibiarkan terbuka disinari matahari untuk mematikan bakteri maupun hama akar.”
Proses dan usaha yang panjang yang dilakukan Pak Sakri menghasilkan panen yang sukses. “Hasil panen pertama yang saya terima 30 juta. Uang ini langsung saya bayarkan hutang dengan teman. Uang sisa saya pergunakan untuk menyewa lahan disamping yang berjumlah 1,2 hektar dan kebutuhan belanja dirumah.” Pak Sakri dan 174 petani lainnya dapat merasakan air yang mengalir kembali ke lahan pertanian dan menerapkan ilmu pertanian yang diberikan oleh Mercy Corps Indonesia.
“Jangan pasrah kepada keadaan dan saya bersedia membantu semampunya lanjut Pak Sakri.” Tutup Pak Sakri. Mercy Corps Indonesia berterima kasih kepada Pak Sakri ,kelompok tani, dan pihak – pihak lainnya yang menjaga semangat dan ikut bersama membangun sumber kehidupan kembali di Sulawesi .
Penulis : Ashari – WASH Engginer
Editor : Atissa Puti – KM and Reporting Officer
- Log in to post comments